Rabu, 08 Mei 2013

Iklan Politik



Bolland (dalam McNair, 2011) mendefinisikan periklanan sebagai penempatan pesan-pesan terorganisir pada media dengan membayar. Begitu juga periklanan politik, dalam pengertian yang sama, mengacu kepada pembelian dan penggunaan tentang ruang periklanan (advertising space), membayar untuk rating komersil, dalam rangka untuk mentransmisikan pesan-pesan politik kepada suatu khalayak. Media yang digunakan meliputi bioskop, billboards, pres, radio, dan televisi.
Dari beberapa jenis media yang disebutkan di atas, berdasarkan hasil survei nasional tentang iklan politik dan perilaku pemilih menjelang pemilu 2009, televisi merupakan media yang paling sering diakses oleh masyarakat. Hal ini tampak dari signifikannya masyarakat jumlah masyarakat yang pernah melihat iklan beberapa partai politik tersebut di televisi.
Iklan politik tidak melulu menyampaikan informasi tentang aneka pilihan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh para partisipan politik. Namun iklan juga dirancang untuk membujuk. Dalam bujukan ini, iklan harus secara jernih atau nyata menguntungkan politikus.
Kemampuan iklan politik dalam mempengaruhi audiens berlangsung dalam dua tingkatan menurut Brian Mcnair dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to Political CommunicationI.” Pertama, iklan politik menyebarkan informasi mengenai visi, misi dan dan platform kandidat ke dalam detail dimana wartawan jarang melakukannya. Kedua, karena iklan politik berada dalam dunia perdagangan, periklanan tidak hanya ditujukan untuk memberikan informasi kepada audiens, tetapi juga dirancang untuk membujuk (to persuade).
Dengan demikian, periklanan politik mempunyai keuntungan yang jelas bagi kandidat, yakni kemampuannya dalam menjangkau audiens yang luas dan dalam melakukan persuasi terhadap mereka. Selain itu, di atas segalanya, kontrol atas materi publikasi berada di tangan politikus dan bukan pada media.
Jelang Pemilukada kota Malang, warga Malang akan mencari Wali kotanya pada 23 Mei 2013 mendatang. Saat ini merupakan ajang para calon untuk melakukan kampanye dan memobilisasi masyarakat tentunya. Para calon Walikota mulai besar-besaran membuat iklan politik. Kendati demikian, Masyarakat belum tentu percaya ataupun tertarik kepada calon-calon walikota atas janji janjinya, Semua itu akan tergantung kepada para calon bagaimana bisa menguasai komunikasi politik, cara memobilisasi masa dan juga kemampuan untuk merangkul semua golongan.
Pemilihan media untuk berkampanye tentunya sangatlah berpengaruh guna tercapainya suatu tujuan. Berdasarkan pernyataan Brian McNair di atas, bahwa visi misi seorang kandidat calon wali kota sangatlah penting. Untuk itu, dalam melakukan iklan politik, sebaiknya masyarakat benar-benar di buat yakin bahwa untuk setiap visi misi para calon kandidat bukanlah janji-janji kosong semata, namun merupakan sesuatu yang pasti akan terealisasi dan dapat di implementasikan dengan baik. Dan diharapkan pula masyarakat lebih aktif dan selektif dalam memilih calon pemimpin masa depan.

Referensi :

McNair, Brian. 2011. An Introduction to Political Communication. London and New York: Routledge

Purworini, Dian. Serbuan Rayuan Iklan Politik: Antara Harapan dan Kenyataan. Skripsi. Jakarta: Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kompasiana, Senin, 11 Maret 2013. Iklan Politik dan Untaian Gombalan (Jelang Pemilukada Kota Malang 2013)

Komunikasi Politik

1.                  Media merupakan organisasi, baik pemerintah maupun swasta, yang bertugas memberi informasi kepada publik. Di zaman modern, instrumen media meliputi koran, majalah, televisi, radio, dan lain sebagainya. Fungsi media cukup banyak, terdiri atas melaporkan fakta dan memberikan informasi, mendidik publik, memberi komentar, dan menyampaikan dan membentuk opini publik. Lebih jauh lagi, media juga berfungsi mengkritik, mengatur dan “mengontrol” pemerintah (termasuk polisi dan militer), serta pegawai negeri dan semua pelaku politik, kader partai yang terpilih maupun tidak terpilih, dan wakil LSM. Pendeknya, semua orang yang beraksi dalam lingkup publik. Karena itu, saat ini media merupakan faktor sentral dalam membentuk opini publik (Legowo, dkk, ibid: 8).
Media massa merupakan alat komunikasi politik berdimensi dua, yaitu bagi pemerintah sebagai alat mentransformasikan kebijaksanaan politik, dan bagi masyarakat sebagai sarana sosial kontrol. Media massa dianggap bisa membantu manusia untuk berinteraksi antara satu dengan lainnya. Di era globalisasi saat ini, peranan media, bahkan, sudah menjadi trendsetter atas kemajuan yang ada. Ini adalah realitas bahwa peran media sekarang dan untuk yang akan datang sungguh luar biasa.
Seseorang yang bukanlah siapa-siapa sebelumnya, dengan dukungan media, dia menjadi seorang bintang yang bersinar [seperti contoh kasus Eyang Subur-akibat dari pemberitaan yang secara terus menerus dilakukan oleh media, khususnya televisi]. Di sisi lain, media bahkan juga berperan dalam mempengaruhi opini publik.
Kita tentu masih ingat, bagaimana partai politik-partai politik yang bertarung dalam Pemilu 2004 yang lalu sangat gencar mempengaruhi pemilih dengan menggunakan media massa sebagai sarana sosialisasi. Begitu pula halnya ketika AS dan sekutunya mencitrakan Islam dan negara-negara Islam sebagai teroris, sedikit banyak media ikut berperan di dalamnya. Banyak kalangan berpendapat bahwa bila ingin menguasai dunia, maka kuasailah media. Sebab, dengan menguasai media, mereka dengan “bebas” dapat mempengaruhi opini publik.
Dunia politik hampir tidak dapat dipisahkan dari opini publik sebagai salah satu objek politik dan media sebagai sarananya. Dalam Pemilu kemarin, misalnya, sangat menarik melihat bagaimana media membentuk dan mempengaruhi opini publik, termasuk hubungan yang terjalin antara media dengan pelaku politik, seperti politisi, partai politik dan masyarakat umum. Opini publik merupakan pandangan orang banyak yang tidak terorganisasi, tersebar di mana-mana, dan karena kesamaan pandangan terhadap sesuatu, mereka secara sadar atau tidak dapat bergerak serentak dan bersatu-padu menyikapi sesuatu tersebut. Untuk itu, opini publik bisa diciptakan dan direncanakan.
Dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu, kiprah media dalam menyusun – lebih tepatnya membentuk opini masyarakat – tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lebih mengenal suatu partai politik, proses dan mekanisme Pemilu, dan tetek bengek lainnya, lebih banyak mengetahuinya melalui media. Pemilu 2004 dianggap sukses apabila publik memilih partai dan kandidat yang bisa menyelenggarakan negara sesuai dengan cita-cita bangsa. Karenanya, publik membutuhkan informasi yang berkualitas tentang semua peserta Pemilu, sehingga menjadi pemilih yang well informed. Di sinilah kemudian media memainkan peranan yang sangat krusial.
Peranan media tidak berhenti di situ saja, namun akan terus berlanjut hingga Pemilu usai. Pemilu yang nantinya akan menghasilkan elit-elit politik, dan dengan demikian memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakaan pemerintahan negara, maka peran media adalah mengawasi dan memberikan informasi kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan politik yang dilakukan oleh para elit politik tersebut. Aktivitas dan keputusan politik akan menjadi sentra perhatian dan secara tidak langsung akan membentuk opini dalam masyarakat.

2.                  Propaganda :
Carl I Hovlan mengatakan bahwa propaganda merupakan usaha untuk merumuskan secara tegar azas-azas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap. Propaganda sendiri mempunyai pengertian berupa rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Sedangkan menurut Garth S. Jowett and Victoria O'Donnell dalam bukunya Propaganda And Persuasion, propaganda adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.
Secara singkat dapat diketahui bahwa propaganda merupakan sebuah tindakan manipulatif untuk mempengaruhi keputusan atau perilaku individu atau negara lain. Dalam percaturan internasional mekanisme propaganda berlangsung dalam sebuah proses yang kompleks.
Berkembangnya teknologi informasi menyebabkan propaganda semakin sering terjadi dengan berbagai saluran. Demikian pula teknik-tenik propaganda dikembangkan lagi dari dasar-dasar yang sudah biasa dilakukan oleh kaum propagandis. Sebagus apapun propaganda yang kita lancarkan terhadap lawan kita tidak akan menemui kelancaran tanpa adanya suatu alat. Alat tersebut merupakan sebuah perantara bagi isi propaganda agar sampai kepada orang-orang yang kita tujukan atas propaganda tersebut. Alat propaganda tersebut tidak lain adalah media massa. Media masa tersebut melingkupi media dalam ruang seperti televisi maupun radio juga media luar luang seperti baliho, spanduk dan sebagainya.
Contoh Kasus : Surya Paloh yang mendirikan organisasi masyarakat “Nasional Demokrat” terus menerus memanfaatkan media massa miliknya yaitu Metro TV untuk mempromosikan ormas yang dia bangun dan kemungkinan akan menjadi partai politik disaat menjelang pemilu Presiden 2014 yang lalu. Selain itu, pada saat kampanye pilpres 2009 partai demokrat yang mencalonkan ketuanya sebagai calon presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki keunggulan yang cukup signifikan karena dibantu oleh MNC group dalam mempromosikan partainya dan juga calon presidennya. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh dari si pemilik media tersebut yang saat itu sedang dekat dengan SBY. Ada pepatah mengatakan bahwa orang yang bisa menguasai dunia adalah orang yang menguasai media.
Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus di Thailand, fokusnya selalu mengenai penggunaan media elektronik oleh pihak militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the state).

            Iklan Politik :
Iklan politik secara singkat dideskripsikan sebagai penyiaran yang bersifat informatif dan persuasif dengan tujuan untuk meraih pemberi suara dan memberikan mereka pilihan politik yang meliputi partai politik, kandidat dan program. Tujuan yang ingin dicapai oleh siaran ini tidak hanya untuk menaikkan popularitas kandidat tetapi lebih kepada untuk membuat pemberi suara mau memilih kandidat yang menjadi sponsor dari iklan. Bentuk dan isi dari iklan yang mampu meraih audiens melalui media ini di bawah kendali dari aktor politik, media (TV, radio, surat kabar, internet) dan saluran transmisi lainnya (Dudek, 2007: 2) . Definisi iklan yang dikemukakan oleh Dudek memberikan gambaran bahwa iklan politik tidak hanya digunakan untuk menaikkan popularitas tetapi juga perubahan perilaku calon pemilih untuk kemudian memberikan suara pada kandidat yang beriklan.
Berikut ini adalah contoh dari iklan politik secara negatif yang dilakukan oleh Wiranto dan Megawati. Sebagai buktinya yaitu kritikan partai PDIP kepada partai Demokrat atas program-programnya yang dianggap belum mampu menyejahterahkan rakyat, yang tidak saja disampaikan lewat orasi politiknya tetapi juga melalui iklan di harian nasional, mendapatkan respon balasan dari pihak partai Demokrat dengan iklan yang isinya menampik tegas tuduhan lawan politiknya tersebut. Iklan yang dikategorikan negatif ini sebenarnya membuat masing-masing partai akhirnya sama-sama berusaha saling menunjukkan kepada masyarakat siapa yang sebenarnya lebih akurat dan jujur dalam menyampaikan informasi. Iklan negatif pada akhirnya mampu memberikan dampak positif selain semakin juga menguatkan persepsi masyarakat bahwa media massa menjadi ajang pertarungan iklan bagi masing-masing partai atau kandidat untuk berjuang mendapatkan perhatian masyarakat.
Periklanan memiliki satu kelemahan mendasar sebagai bentuk komunikasi politik. Untuk penerima pesan, jika tidak sebagai 'propaganda' (dalam arti negatif), maka bias dan parsial. Terlepas dari apakah penonton setuju atau tidak setuju dengan pesan yang diiklankan, ia menyadari bahwa itu adalah pesan yang memuat politik, mencerminkan kepentingan, ide-ide dan nilai-nilai dari sponsor. Untuk alasan ini, efektivitas iklan politik sebagai sarana persuasi akan selalu terbatas.

Iklan Komersial
Iklan komersial adalah iklan yang bertujuan untuk mendukung pemasaran atau mempromosikan suatu produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan/industri maupun personal.
Ada 2 macam iklan komersial, yaitu:
a)                  Iklan Strategis. Iklan macam ini digunakan untuk membangun merek (brand). Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek dan manfaat produk maupun jasa yang diiklankan. Perhatian utama dalam jangka panjang adalah memposisikan merek serta membangun pangsa pikiran dan pangsa pasar. Iklan macam ini mengundang konsumen untuk menikmati hubungan dengan merek serta meyakinkan bahwa merek ini ada bagi para pengguna.
b)                  Iklan Taktis adalah iklan yang memiliki tujuan yang mendesak. Iklan macam ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan ini memberikan penawaran khusus jangka pendek yang memacu konsumen memberikan respon pada hari yang sama.
Contoh iklan komersial : Pantene, LUX, Wardah, Pepsodent dan lain-lain.

Iklan yang efektif
Iklan politik yang efektif di Indonesia menurut saya yaitu iklan yang dapat menyampaikan informasi dari pemasang iklan kepada penerima iklan. Faktor-faktor yang menentukan keefektifan suatu iklan antara lain kepadatan materi, kesederhanaan bahasa, terlihat tidak membosankan. Karena seperti yang kita lihat bahwa iklan politik lebih cenderung mengangkat persepsi politikus tentang audiens sehingga membuat iklan politik jauh dari kesan menghibur. Mereka cenderung kurang memperhatikan minat dan antusias audiens, tetapi fokus untuk mengalahkan lawan politik dan mensosialisasikan agenda yang baru. Pembuat iklan harus memerhatikan efektifitas iklan politik tersebut agar mood atau perasaan audiens ketika melihat tayangan iklannya tetap dalam kondisi bahagia. Sehingga tujuan yang diharapkan oleh aktor politik dapat tercapai.

3.                  Media adalah salah satu institusi penting, sama pentingnya dengan negara, pasar, dan masyarakat. Media sebagai sebuah organisasi, atau seringkali disebut dengan institusi, memiliki bagian-bagian yang bisa diamati dengan sederhana, maupun mendalam.  Bagaimana mengamati kerja organisasi media? Denis McQuail di dalam bukunya "Mass Communication Theory" (edisi kelima, 2005: 192) memberikan salah satu cara menganalisis organisasi media beroperasi. Menurutnya, "operasi" media terdiri dari tiga level, yaitu: struktur, cara bertindak (conduct), dan kinerja (performance).
Struktur merujuk pada semua hal yang berhubungan dengan sistem media, termasuk bentuk organisasi media, aspek keuangan, kepemilikan, bentuk regulasi, infrastruktur, fasilitas distribusi, dan sebagainya. Sementara cara bertindak atau tata kerja adalah segala hal yang berkaitan dengan "tindakan" pelaku media dalam level organisasional, termasuk metode menyeleksi dan memproduksi konten, keputusan editorial, kebijakan untuk pasar, interaksi dengan berbagai pihak, semisal pengiklan, prosedur akuntabilitas, dan lainnya. Terakhir, kinerja secara substantif merujuk pada konten, pada sesuatu yang ditujukan pada audiens atau pengakses.
Isi pesan atau konten media adalah aspek paling penting dari organisasi media karena melalui konten-lah audiens bisa menilai beroperasinya sebuah media. Konten merupakan "alat ukur" yang sah untuk membandingkan kinerja media yang satu dengan yang lain. Kita bisa menilai koran A lebih baik daripada koran B dan C karena kita membaca output yang dihasilkan. Kita bisa mereview sebuah game bagus dengan parameter tertentu. Biasanya institusi media yang menghasilkan output yang bagus akan selalu diingat. Sebagai audiens kita mestinya mengetahui koran, stasiun tv, dan game apa yang bagus di dalam suatu kurun waktu.
Media pada dasarnya memiliki karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat dari kenyataan bahwa media cetak sering meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara yang semakin melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin melemah pula. Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi pemberitaan menjadi tidak selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi oposisi, petinggi militer, pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok non-pemerintah, dan pihak lain, semuanya terlibat di sini.
Hal menarik untuk menjelaskan tentang konsep peran politik dari media adalah bab yang ditulis oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4 (empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant); dan keempat, sebagai penipu (trickster).
Terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang-orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan)  khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal.
Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi.

4.                  Liberalisasi Media di Tengah Negara Demokrasi
Lebih dari dua puluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak popular pada pemerintahan di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya dan diprotes melalui gerakan perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power berhasil mengusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di Thailand tahun 1992 yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon dari kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998 terkenal dengan tragedi reformasi berhasil menurunkan kediktatoran Soeharto.
Demokrasi liberal hanya meniscayakan kemenangan, kekalahan, keuntungan dan kerugian. Keniscayaan demokrasi liberal yang sedemikian ekstrem itu, sesunggguhnya memetakan Indonesia pasca reformasi dalam posisi yang dilema, antara memilih menumpahkan ekspresi politik yang terkangkangi pasca negara orde baru, atau memilih terjun bebas dalam ranah demokrasi pasar secara serta-merta.  Namun pada kenyataannya adalah negara kita sedang terjun bebas dalam praktek demokrasi liberal.
Akibatnya besarnya adalah, pemimpin-pemimpin kita hanya berorientasi struktur, kepentingan kelompok/keluarga sembari membangun kerajaan politik dengan menghalalkan segala cara dan menggusur siapapun yang diangkap bukan bagian (disorder) kelompok kepentingan. Moralitas kepemimpinan dalam demokrasi liberal, acapkali mempertontonkan ketelanjangan dari moralitas kepemimpinan yang kita yakini selama ini dari kitab-kitab moral. Perspektif yang saya maksudkan di atas, secara faktual berkorelasi dengan kondisi perpolitikan kita saat ini di Indonesia.
Fenomena ini bisa kita lihat mulai dari pilpres, pilkada hingga pilcaleg. Contoh data-data korupsi kepala daerah dan pejabat negara lainnya pada tahun 2012 pun cukup menggambarkan terjadinya defisit moral parmanen di tubuh birokrasi dan institusi negara lainnya kita.
Tuntutan modal politik yang besar ini, acap kali bersinggungan keras dengan aspek moralitas para pemimpin dalam mengelola negeri ini. Alhasil, korupsi yang merajalela, adalah bagian klimaks dari kegagapan dalam menterjemahkan model demokrasi liberal. Bahkan kekuasaan pun acap kali menjadi mesin penggilas yang mematikan untuk mencapai tujuan-tujuan berdemokrasi yang bias dan diwarnai dengan korupsi yang diam-diam menggeliat dalam pusaran kekuasaan saat ini.
Marak nya korupsi, adalah satu diantara sekian indikator gagalnya moral etik kepemimpinan saat ini. Selain itu, pratek-praktek totaliterian pun seakan menemukan bentuk baru yang saling mendukung antara kekuasaan dan korupsi penguasanya. Beberapa kasus sebelumnya, mulai dari BLBI, Bank Century, Hambalang, skandal pajak, dan sejumlah korupsi yang melibatkan anasir kekuasaan, adalah letupan gugurnya moralitas kepemimpinan dalam mencapai tujuan-tujuan politik sesaat. Betapa tidak, beberapa mega skandal korupsi yang saya maksudkan ini, seakan lepas saja dari kendali supremasi hukum yang ada dalam genggaman kekuasaan saat ini.