1.
Media merupakan organisasi, baik pemerintah
maupun swasta, yang bertugas memberi informasi kepada publik. Di zaman modern,
instrumen media meliputi koran, majalah, televisi, radio, dan lain sebagainya.
Fungsi media cukup banyak, terdiri atas melaporkan fakta dan memberikan
informasi, mendidik publik, memberi komentar, dan menyampaikan dan membentuk
opini publik. Lebih jauh lagi, media juga berfungsi mengkritik, mengatur dan
“mengontrol” pemerintah (termasuk polisi dan militer), serta pegawai negeri dan
semua pelaku politik, kader partai yang terpilih maupun tidak terpilih, dan
wakil LSM. Pendeknya, semua orang yang beraksi dalam lingkup publik. Karena
itu, saat ini media merupakan faktor sentral dalam membentuk opini publik
(Legowo, dkk, ibid: 8).
Media massa merupakan alat komunikasi politik berdimensi dua,
yaitu bagi pemerintah sebagai alat mentransformasikan kebijaksanaan politik,
dan bagi masyarakat sebagai sarana sosial kontrol. Media massa dianggap bisa
membantu manusia untuk berinteraksi antara satu dengan lainnya. Di era
globalisasi saat ini, peranan media, bahkan, sudah menjadi trendsetter atas kemajuan yang ada. Ini adalah realitas bahwa peran
media sekarang dan untuk yang akan datang sungguh luar biasa.
Seseorang yang bukanlah siapa-siapa sebelumnya, dengan
dukungan media, dia menjadi seorang bintang yang bersinar [seperti contoh kasus
Eyang Subur-akibat dari pemberitaan yang secara terus menerus dilakukan oleh
media, khususnya televisi]. Di sisi lain, media bahkan juga berperan dalam
mempengaruhi opini publik.
Kita tentu masih ingat, bagaimana partai politik-partai
politik yang bertarung dalam Pemilu 2004 yang lalu sangat gencar mempengaruhi
pemilih dengan menggunakan media massa sebagai sarana sosialisasi. Begitu pula
halnya ketika AS dan sekutunya mencitrakan Islam dan negara-negara Islam
sebagai teroris, sedikit banyak media ikut berperan di dalamnya. Banyak
kalangan berpendapat bahwa bila ingin menguasai dunia, maka kuasailah media.
Sebab, dengan menguasai media, mereka dengan “bebas” dapat mempengaruhi opini
publik.
Dunia politik hampir tidak dapat dipisahkan dari opini publik
sebagai salah satu objek politik dan media sebagai sarananya. Dalam Pemilu
kemarin, misalnya, sangat menarik melihat bagaimana media membentuk dan
mempengaruhi opini publik, termasuk hubungan yang terjalin antara media dengan
pelaku politik, seperti politisi, partai politik dan masyarakat umum. Opini
publik merupakan pandangan orang banyak yang tidak terorganisasi, tersebar di
mana-mana, dan karena kesamaan pandangan terhadap sesuatu, mereka secara sadar
atau tidak dapat bergerak serentak dan bersatu-padu menyikapi sesuatu tersebut.
Untuk itu, opini publik bisa diciptakan dan direncanakan.
Dalam penyelenggaraan Pemilu yang lalu, kiprah media dalam
menyusun – lebih tepatnya membentuk opini masyarakat – tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Masyarakat lebih mengenal suatu partai politik,
proses dan mekanisme Pemilu, dan tetek bengek lainnya, lebih banyak
mengetahuinya melalui media. Pemilu 2004 dianggap sukses apabila publik memilih
partai dan kandidat yang bisa menyelenggarakan negara sesuai dengan cita-cita
bangsa. Karenanya, publik membutuhkan informasi yang berkualitas tentang semua
peserta Pemilu, sehingga menjadi pemilih yang well informed. Di sinilah kemudian media memainkan peranan yang sangat
krusial.
Peranan media tidak berhenti di situ saja, namun akan terus
berlanjut hingga Pemilu usai. Pemilu yang nantinya akan menghasilkan elit-elit
politik, dan dengan demikian memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakaan
pemerintahan negara, maka peran media adalah mengawasi dan memberikan informasi
kepada publik atas aktivitas-aktivitas dan keputusan-keputusan politik yang
dilakukan oleh para elit politik tersebut. Aktivitas dan keputusan politik akan
menjadi sentra perhatian dan secara tidak langsung akan membentuk opini dalam
masyarakat.
2.
Propaganda
:
Carl
I Hovlan mengatakan bahwa propaganda merupakan usaha untuk merumuskan secara
tegar azas-azas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap. Propaganda
sendiri mempunyai pengertian berupa rangkaian pesan yang bertujuan untuk
memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Sedangkan
menurut Garth S. Jowett and Victoria O'Donnell dalam bukunya Propaganda And
Persuasion, propaganda adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk
membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk
mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.
Secara singkat
dapat diketahui bahwa propaganda merupakan sebuah tindakan manipulatif untuk
mempengaruhi keputusan atau perilaku individu atau negara lain. Dalam
percaturan internasional mekanisme propaganda berlangsung dalam
sebuah proses yang kompleks.
Berkembangnya
teknologi informasi menyebabkan propaganda semakin sering terjadi dengan
berbagai saluran. Demikian pula teknik-tenik propaganda dikembangkan lagi dari
dasar-dasar yang sudah biasa dilakukan oleh kaum propagandis. Sebagus apapun
propaganda yang kita lancarkan terhadap lawan kita tidak akan menemui
kelancaran tanpa adanya suatu alat. Alat tersebut merupakan sebuah perantara
bagi isi propaganda agar sampai kepada orang-orang yang kita tujukan atas
propaganda tersebut. Alat propaganda tersebut tidak lain adalah media massa.
Media masa tersebut melingkupi media dalam ruang seperti televisi maupun radio
juga media luar luang seperti baliho, spanduk dan sebagainya.
Contoh
Kasus : Surya Paloh yang mendirikan organisasi masyarakat “Nasional Demokrat”
terus menerus memanfaatkan media massa miliknya yaitu Metro TV untuk mempromosikan
ormas yang dia bangun dan kemungkinan akan menjadi partai politik disaat
menjelang pemilu Presiden 2014 yang lalu. Selain itu, pada saat kampanye
pilpres 2009 partai demokrat yang mencalonkan ketuanya sebagai calon presiden
yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki keunggulan yang cukup signifikan
karena dibantu oleh MNC group dalam mempromosikan partainya dan juga calon
presidennya. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh dari si pemilik media
tersebut yang saat itu sedang dekat dengan SBY. Ada pepatah mengatakan bahwa
orang yang bisa menguasai dunia adalah orang yang menguasai media.
Kajian
mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni
kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi
alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini
ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan
media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus
di Thailand, fokusnya selalu mengenai penggunaan media elektronik oleh pihak
militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang sebagai pion dari kekuasaan
negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the
state).
Iklan
Politik :
Iklan
politik secara singkat dideskripsikan sebagai penyiaran yang bersifat
informatif dan persuasif dengan tujuan untuk meraih pemberi suara dan memberikan
mereka pilihan politik yang meliputi partai politik, kandidat dan program.
Tujuan yang ingin dicapai oleh siaran ini tidak hanya untuk menaikkan
popularitas kandidat tetapi lebih kepada untuk membuat pemberi suara mau
memilih kandidat yang menjadi sponsor dari iklan. Bentuk dan isi dari iklan
yang mampu meraih audiens melalui media ini di bawah kendali dari aktor
politik, media (TV, radio, surat kabar, internet) dan saluran transmisi lainnya
(Dudek, 2007: 2) . Definisi iklan yang dikemukakan oleh Dudek memberikan
gambaran bahwa iklan politik tidak hanya digunakan untuk menaikkan popularitas
tetapi juga perubahan perilaku calon pemilih untuk kemudian memberikan suara
pada kandidat yang beriklan.
Berikut
ini adalah contoh dari iklan politik secara negatif yang dilakukan oleh Wiranto
dan Megawati. Sebagai buktinya yaitu kritikan partai PDIP kepada partai
Demokrat atas program-programnya yang dianggap belum mampu menyejahterahkan
rakyat, yang tidak saja disampaikan lewat orasi politiknya tetapi juga melalui
iklan di harian nasional, mendapatkan respon balasan dari pihak partai Demokrat
dengan iklan yang isinya menampik tegas tuduhan lawan politiknya tersebut.
Iklan yang dikategorikan negatif ini sebenarnya membuat masing-masing partai
akhirnya sama-sama berusaha saling menunjukkan kepada masyarakat siapa yang
sebenarnya lebih akurat dan jujur dalam menyampaikan informasi. Iklan negatif
pada akhirnya mampu memberikan dampak positif selain semakin juga menguatkan
persepsi masyarakat bahwa media massa menjadi ajang pertarungan iklan bagi
masing-masing partai atau kandidat untuk berjuang mendapatkan perhatian masyarakat.
Periklanan
memiliki satu kelemahan mendasar sebagai bentuk komunikasi politik. Untuk
penerima pesan, jika tidak sebagai 'propaganda' (dalam arti negatif), maka bias
dan parsial. Terlepas dari apakah penonton setuju atau tidak setuju dengan pesan
yang diiklankan, ia menyadari bahwa itu adalah pesan yang memuat politik,
mencerminkan kepentingan, ide-ide dan nilai-nilai dari sponsor. Untuk alasan
ini, efektivitas iklan politik sebagai sarana persuasi akan selalu terbatas.
Iklan Komersial
Iklan
komersial adalah iklan yang bertujuan untuk mendukung pemasaran atau mempromosikan
suatu produk atau jasa yang dihasilkan dari perusahaan/industri
maupun personal.
Ada
2 macam iklan komersial, yaitu:
a)
Iklan Strategis. Iklan macam ini digunakan untuk
membangun merek (brand). Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek
dan manfaat produk maupun jasa yang diiklankan. Perhatian utama dalam jangka
panjang adalah memposisikan merek serta membangun pangsa pikiran dan pangsa
pasar. Iklan macam ini mengundang konsumen untuk menikmati hubungan dengan
merek serta meyakinkan bahwa merek ini ada bagi para pengguna.
b)
Iklan Taktis adalah iklan yang memiliki tujuan
yang mendesak. Iklan macam ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera
melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan ini memberikan
penawaran khusus jangka pendek yang memacu konsumen memberikan respon pada
hari yang sama.
Contoh iklan komersial : Pantene,
LUX, Wardah, Pepsodent dan lain-lain.
Iklan
yang efektif
Iklan politik yang
efektif di Indonesia menurut saya yaitu iklan yang dapat
menyampaikan informasi dari pemasang iklan kepada penerima iklan. Faktor-faktor
yang menentukan keefektifan suatu iklan antara lain kepadatan materi,
kesederhanaan bahasa, terlihat tidak membosankan. Karena seperti yang kita
lihat bahwa iklan politik lebih cenderung mengangkat persepsi politikus
tentang audiens sehingga membuat iklan politik jauh dari kesan menghibur. Mereka
cenderung kurang memperhatikan minat dan antusias audiens, tetapi fokus untuk
mengalahkan lawan politik dan mensosialisasikan agenda yang baru. Pembuat
iklan harus memerhatikan efektifitas iklan politik tersebut agar mood atau
perasaan audiens ketika melihat tayangan iklannya tetap dalam kondisi bahagia.
Sehingga tujuan yang diharapkan oleh aktor politik dapat tercapai.
3.
Media adalah salah satu institusi penting, sama
pentingnya dengan negara, pasar, dan masyarakat. Media sebagai sebuah
organisasi, atau seringkali disebut dengan institusi, memiliki bagian-bagian yang
bisa diamati dengan sederhana, maupun mendalam.
Bagaimana mengamati kerja organisasi media? Denis McQuail di dalam
bukunya "Mass Communication Theory" (edisi kelima, 2005: 192)
memberikan salah satu cara menganalisis organisasi media beroperasi. Menurutnya,
"operasi" media terdiri dari tiga level, yaitu: struktur, cara
bertindak (conduct), dan kinerja (performance).
Struktur merujuk
pada semua hal yang berhubungan dengan sistem media, termasuk bentuk organisasi
media, aspek keuangan, kepemilikan, bentuk regulasi, infrastruktur, fasilitas
distribusi, dan sebagainya. Sementara cara bertindak atau tata kerja adalah
segala hal yang berkaitan dengan "tindakan" pelaku media dalam level
organisasional, termasuk metode menyeleksi dan memproduksi konten, keputusan
editorial, kebijakan untuk pasar, interaksi dengan berbagai pihak, semisal
pengiklan, prosedur akuntabilitas, dan lainnya. Terakhir, kinerja secara
substantif merujuk pada konten, pada sesuatu yang ditujukan pada audiens atau
pengakses.
Isi pesan atau konten
media adalah aspek paling penting dari organisasi media karena melalui
konten-lah audiens bisa menilai beroperasinya sebuah media. Konten merupakan
"alat ukur" yang sah untuk membandingkan kinerja media yang satu
dengan yang lain. Kita bisa menilai koran A lebih baik daripada koran B dan C
karena kita membaca output yang dihasilkan. Kita bisa mereview sebuah game
bagus dengan parameter tertentu. Biasanya institusi media yang menghasilkan
output yang bagus akan selalu diingat. Sebagai audiens kita mestinya mengetahui
koran, stasiun tv, dan game apa yang bagus di dalam suatu kurun waktu.
Media pada dasarnya memiliki
karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat dari kenyataan bahwa media
cetak sering meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara
yang semakin melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin
melemah pula. Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi
pemberitaan menjadi tidak selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi
oposisi, petinggi militer, pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok
non-pemerintah, dan pihak lain, semuanya terlibat di sini.
Hal menarik untuk
menjelaskan tentang konsep peran politik dari media adalah bab yang ditulis
oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4 (empat) pandangan
yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant); dan keempat, sebagai penipu (trickster).
Terdapat 3 (tiga)
pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang-orang yang digerakkan
oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi
politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa
untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan
pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi
jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian
banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan
signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk
keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan
menggunakan basis usaha yang minimal.
Tujuan tersebut
merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor tadi. Politisi
menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral
dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin
menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat
kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat
menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, investigasi, dan analisis
berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi.
4.
Liberalisasi Media di Tengah Negara Demokrasi
Lebih dari dua
puluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak popular pada pemerintahan
di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya dan diprotes melalui gerakan
perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power berhasil
mengusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di Thailand tahun 1992
yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon
dari kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998 terkenal dengan tragedi
reformasi berhasil menurunkan kediktatoran Soeharto.
Demokrasi liberal
hanya meniscayakan kemenangan, kekalahan, keuntungan dan kerugian. Keniscayaan
demokrasi liberal yang sedemikian ekstrem itu, sesunggguhnya memetakan
Indonesia pasca reformasi dalam posisi yang dilema, antara memilih menumpahkan
ekspresi politik yang terkangkangi pasca negara orde baru, atau memilih terjun
bebas dalam ranah demokrasi pasar secara serta-merta. Namun pada kenyataannya adalah negara kita
sedang terjun bebas dalam praktek demokrasi liberal.
Akibatnya besarnya
adalah, pemimpin-pemimpin kita hanya berorientasi struktur, kepentingan
kelompok/keluarga sembari membangun kerajaan politik dengan menghalalkan segala
cara dan menggusur siapapun yang diangkap bukan bagian (disorder) kelompok kepentingan.
Moralitas kepemimpinan dalam demokrasi liberal, acapkali mempertontonkan
ketelanjangan dari moralitas kepemimpinan yang kita yakini selama ini dari
kitab-kitab moral. Perspektif yang saya maksudkan di atas, secara faktual
berkorelasi dengan kondisi perpolitikan kita saat ini di Indonesia.
Fenomena
ini bisa kita lihat mulai dari pilpres, pilkada hingga pilcaleg. Contoh
data-data korupsi kepala daerah dan pejabat negara lainnya pada tahun 2012 pun
cukup menggambarkan terjadinya defisit moral parmanen di tubuh birokrasi dan
institusi negara lainnya kita.
Tuntutan
modal politik yang besar ini, acap kali bersinggungan keras dengan aspek
moralitas para pemimpin dalam mengelola negeri ini. Alhasil, korupsi yang
merajalela, adalah bagian klimaks dari kegagapan dalam menterjemahkan model
demokrasi liberal. Bahkan kekuasaan pun acap kali menjadi mesin penggilas yang
mematikan untuk mencapai tujuan-tujuan berdemokrasi yang bias dan diwarnai
dengan korupsi yang diam-diam menggeliat dalam pusaran kekuasaan saat ini.
Marak
nya korupsi, adalah satu diantara sekian indikator gagalnya moral etik
kepemimpinan saat ini. Selain itu, pratek-praktek totaliterian pun seakan
menemukan bentuk baru yang saling mendukung antara kekuasaan dan korupsi
penguasanya. Beberapa kasus sebelumnya, mulai dari BLBI, Bank Century, Hambalang,
skandal pajak, dan sejumlah korupsi yang melibatkan anasir kekuasaan, adalah
letupan gugurnya moralitas kepemimpinan dalam mencapai tujuan-tujuan politik
sesaat. Betapa tidak, beberapa mega skandal korupsi yang saya maksudkan ini,
seakan lepas saja dari kendali supremasi hukum yang ada dalam genggaman
kekuasaan saat ini.