Sekretariat
Gabungan (Setgab) adalah wadah parpol koalisi yang dibentuk untuk komunikasi
dan menyamakan persepsi dalam pengambilan keputusan, baik dalam menyikapi
kebijakan pemerintah maupun di parlemen. Ketua Setgab langsung dipimpin
oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), wakil ketua setgab dipegang oleh Aburizal
Bakrie, dan sekertaris setgab
dipegang oleh Syarif Hasan dari Partai Demokrat dengan anggota
partai politik (parpol) dalam setgab pendukung pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono - Boediono tersebut diantaranya
adalah Demokrat, Golkar, PAN, PKB, PKS, PPP.
Adapun
yang menjadi ketua umum dari masing-masing parpol yaitu; ketua umum Demokrat adalah
Anas Urbaningrum, PKB adalah Muhaimin Iskandar, PAN adalah Hatta Rajasa, Golkar
adalah Aburizal Bakri, PPP adalah Suryadharma Ali dan ketua umum PKS adalah Luthfi
Hasan Ishaaq.
Dinamika
politik Indonesia dengan multipartainya menurut saya saat ini sangat
memperihatinkan. Terlalu banyak konflik internal maupun eksternal yang terjadi
pada parpol di negara kita. Kurangnya manajamen dan komunikasi yang baik dalam
parpol. Begitu pula yang menjadi bagian dari partai koalisi setgab. Situasi
internal yang terjadi pada setgab diantaranya adalah kasus Bank Century, kasus
suap dana pencairan dana di Kemnakertrans, terjadinya kasus pajak, dan banyaknya
kasus korupsi, lalu ditambah lagi dengan masalah sistem pemilu, bahkan beberapa
parpol yang menjadi anggota setgab saling mengeluhkan peran partai Golkar dan partai
Demokrat karena dianggap yang sangat dominan dalam setgab.
Konflik-konflik
terus bermunculan seiring berjalannya pemerintahan Presiden SBY-Boediono. Seperti
yang kita ketahui bahwa konflik merupakan suatu proses interaksi yang terjadi akibat
adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh
atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sehingga
bila konflik internal dalam setgab yang semakin mendekati klimaks dan tidak
cepat diatasi dengan menemukan penyelesaian yang baik, maka akan adanya
perpecahan.
Yang
perlu dipertanyakan adalah bagaimana lagi nasib negara Indonesia kedepannya? Apa
yang sebenarnya menjadi penyebab sering munculnya suatu konflik yang membuat
masyarakat sebagai pengamat pemerintahanpun merasa prihatin dengan kondisi yang
ada dalam pemerintahan negara Indonesia ini? Bagaimana cara meredam dan
meminimalisisir konflik-konflik tersebut? Meskipun begitu, hasil akhir dari
adanya suatu konflik adalah tergantung pada manajemen pengelolaan konflik
tersebut.
Berdasarkan
teori manajemen klasik (classical management theory), adanya konflik dipandang
sebagai bukti perpecahan organisasi, yakni gagalnya pihak manajemen
merencanakan dan melaksanakan pengendalian secara memadai. Adapun teori
administrasi tradisional lebih melihat organisasi yang sehat didasarkan kepada
suasana yang harmonis, kesatuan, koordinasi, efisiensi, dan tertib. Hubungan
manusiawi berupaya menciptakan iklim tersebut melalui suasana kerja yang
menyenangkan, sedang aliran klasik menciptakannya melalui control dan struktur
organisasi yang ketat. Keduanya sepakat bahwa konflik cenderung merugikan, oleh
karena itu harus dihindari.
Menurut
saya, bila dikaji antara teori manajemen klasik dengan situasi setgab saat ini
adanya kesesuaian terhadap konflik yang terjadi. Bisa jadi memang koalisi
parpol dalam setgab tidak memiliki manajemen yang baik sehingga tidak heran
lagi bahwa parpol di Indonesia mudah sekali terjadi konflik bahkan sampai pada
perpecahan. Sebagai masyarakat biasa, tentu saya merasa miris melihatnya karena
seharusnya ditangan mereka pula lah negara ini bisa maju dan tentunya sebagai
pemimpin dapat memberikan contoh yang baik dengan cara yang bijak bukan
mementingkan ego masing-masing.
Dalam
pemerintahan, seharusnya ada pihak sebagai pengontrol kebijakan-kebijakan
sehingga kebijakan apapun yang dibuat dapat menguntungkan rakyat dan berpihak
pada rakyat bukan hanya berdasarkan kepentingan organisasi parpol semata.
Masyarakat lah yang harus lebih diperhatikan kesejahteraannya, bukan
mensejahterakan diri sendiri dengan semakin memperkaya diri dengan korupsi dan
sebagainya.
Begitu
pula bila melihat teori administrasi tradisional tentu situasi yang berkembang
saat ini sangat bertentangan, karena kurangnya suasana yang harmonis, jauhnya
rasa kesatuan antara pemilik kepentingan, kurangnya koordinasi yang baik, tidak
bisa lagi dikatakan masih memiliki efisiensi karena kondisi yang terlanjur
semraut dan tidak tertib.
Bila
berbicara tentang pemimpin di Indonesia, kewibawaan mereka jatuh karena
perbuatan mereka sendiri, mereka lupa akan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin
yang menjalankan kepemimpinan. Dalam setgab, menurut saya gaya kepemimpinannya
masih belum dikatakan ideal. Mengapa? Karena Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan
memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kini pada
setgab, saya kira tidak lagi mementingkan apa yang menjadi tujuan utama seperti
awal dibentuknya setgab. Hal yang tidak penting bahkan sepele dijadikan sebagai
topik pembicaraan dalam setgab.
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Saya pikir, para
ketua maupun yang menjadi anggota setgab belum sesuai dengan makna dari
kepemimpinan itu sendiri.
Begitu pula bila berdasarkan dari hakikat kepemimpinan, yaitu
:
- Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
- Pengorbanan, Bukan Fasilitas.
- Kerja Keras, Bukan Santai.
- Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
- Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
Kelima
poin hakikat tersebut masih perlu dipertanyakan pada para pemimpin setgab.
Karena bagi saya, gaya kepemimpinan yang ideal itu apabila seseorang itu sudah
memiliki kelima hakikat kepemimpinan.
*Tugas Manajemen & Komunikasi Organisasi*
0 komentar:
Posting Komentar